Jumat, 15 Oktober 2010

Dimensi Sosial Merapatkan Shaf Shalat

Jum’at pekan lalu, saya melaksanakan shalat jum’at di salah satu masjid di kawasan jalan Pongtiku. Tidak banyak yang sempat saya dengarkan dari khutbah saat itu. Bukan karena saya tertidur seperti kebanyakan kita yang tertidur saat khotib menyampaikan khutbahnya atau bicara bersama teman di samping saya. Itu karena saya telat hadir di masjid saat itu sehingga mungkin pahala yang saya dapatkan hanya sebutir telur ayam.

Khutbah selesai dan muadzin segera ambil posisi dan mengumandangkan iqamah. Shalat jum’at berjamaah akan segera dimulai. Imam pun mengingatkan kepada jemaah untuk meluruskan shaf dan merapatkannya sebelum nantinya ia mengangkat takbir. Saya pun antusias merapikan dan mengajak jamaah yang lain untuk merapatkan shaf. Beberapa kali saya menyeru namun orang di samping saya tak juga merapat. Akhirnya kubiarkan saja shaf itu renggang dan kumulai untuk ikut takbir. Dalam hati sempat terbersit kekesalan akan orang yang disamping saya yang tidak mau merapatkan shafnya. Seperti kebiasaan saya menggumam dalam hati setiap kali saya shalat di masjid. Apalagi masjidnya agak besar. Sering saya berfikir, mengapa kita selalu membiarkan shaf kita tidak rapi, membiarkan celah menganga dimana-mana. Mengapa di masjid besar tak pernah kutemukan jemaah shalat dengan shaf yang lurus, rapat dan rapi?. Apakah ini meniscayakan keseharian kita yang enggan bersatu? Lewat tulisan ini, semoga kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dalam berjamaah.



Merapatkan Shaf
Jama’ah sendiri berasal dari kata Al-Jam’u, Al-Jam’ah yang berarti jumlah manusia yang banyak. Lawan dari kata ini adalah Al-Mutafarruq (perpecahan). Jadi, shalat berjamaah itu sendiri adalah shalat yang dilakukan secara bersama antara imam dan makmum dan di dalammnya terdapat ketentuan atau syarat-syarat tertentu.

Salah satu ketentuannya adalah meluruskan dan merapatkan shaf. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Nu’man bin Basyir ra. Rasululullah SAW pernah bersabda “Luruskan (samakanlah) shaf-shaf kalian (beliau mengulangi 3 kali), maka demi Allah hendaklah kalian meluruskan shaf kalian atau sungguh Allah akan menyelisihkan diantara hati-hati kalian.” Dalam riwayat lain disebutkan “Hendaklah Kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian.”(Hadist riwayat Bukhari). Dua dalil ini mengisyaratkan kepada kita bahwa meluruskan dan merapatkan shaf adalah wajib dalam shalat berjamaah. Mengapa wajib? Karena di akhir sabda rasul ini didapati ancaman jika kita membiarkan shaf renggang. Ancaman bahwa Allah akan menyelisihkan di antara wajah-wajah kalian itu sebenarnya dapat dimaknai sebagai peluang adanya perselisihan, pertikaian atau perbedaan dalam ummat Islam jika kita enggan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah. Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada kita “Rapatkanlah shaf-shaf kalian, saling berdekatanlah, dan luruskanlah dengan leher-leher (kalian), karena demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seakan-akan dia adalah kambing kecil.” (HR Abu Dawud). Bisa jadi syetan-syetan yang menyelinap dalam celah-celah shaf itulah yang menyemaikan benih kebencian dalam hati kita sehingga shalat yang kita lakukan tidak mampu mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar.

Allah Azza Wa Jalla berfirman “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi (teratur) seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Surah Shaf : 4). Ayat ini menyerukan kepada manusia untuk merapatkan barisan dalam jihad di jalanNya. Tidak hanya dalam jihad berperang tetapi juga shalat berjamaah. Shalat berjamaah juga merupakan jihad, karena dalam melaksanakannya kita dituntut untuk rela meninggalkan pekerjaan, perdagangan kita atau aktivitas apapun itu.

Kita juga sering mendapati imam menyeru acap kali ingin memulai shalat berjamaah. “Sawu shufufakum..” atau “Luruskan dan rapatkan shaf..” agar para jemaah mudah mengerti. Di saat seperti ini semestinya para jemaah wajib menaati perintah sang imam untuk merapatkan shaf. Karena antara imam dan makmum terdapat relasi instruksional agar makmum mengikuti imam. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk kamu ikuti, maka janganlah kamu menyelisihinya…” Jelaslah bahwa sebagai seorang makmum kita harus mengikuti imam, baik gerakan atau perintahnya, termasuk seruan merapatkan shaf.


Dimensi Sosial
Ada banyak makna yang terkandung dalam shalat berjamaah. Terlebih jika kita merapikan dan merapatkan shaf kita. Beragam manfaat yang ditawarkannya. Pertama, shalat berjamaah mampu membangun hubungan emosional yang erat diantara kita. Membangun kepedulian satu sama lain. Salam di akhir shalat itulah yang merupakan manifestasi kepedulian kita . Mendoakan keselamatan bagi orang yang berada di kiri kanan kita. Terkadang, dua orang yang bermusuhan bisa kembali berbaikan jika ia shalat berjamaah. Kedua, dalam shalat berjamaah terdapat kesetaraan. Kesetaraan sebagai manusia yang sama di hadapan sang Khalik. Tak ada diferensiasi antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat. Semua sama, semua punya hak untuk berada di dalam satu shaf. Terlebih ketika diri ini bersujud, merendahkan diri di hadapanNya. Ketiga, shalat berjamaah mengajarkan kita untuk disiplin dan membiasakan diri untuk mengikuti pemimpin kita. Tak ada yang berani menolak untuk ruku’ ketika imam ruku’ dan sujud ketika imam sujud. Begitu pula jika kita masbuk, kita dianjurkan untuk langsung mengikuti gerakan imam. Semua bergerak bersama dalam satu komando.

Semua itu bermuara pada dimensi terpenting dalam shalat berjamaah. Adalah memupuk rasa integritas, kesatuan gerak, kesatuan rasa. Semua bersatu dalam gerak harmoni seirama, dipimpin oleh satu imam. Shalat berjamaah menghidupkan rasa kemerdekaan (freedom), persamaan (equality) dan persaudaraan (brotherhood) Dimensi social inilah yang sebenarnya bisa memberikan stimulus bagi perkembangan perilaku kita. Toleran, kerukunan dan kebersamaan. Hal yang jarang kita dapati dalam kehidupan nyata. Padahal, jika kita mengamati kemajuan prilaku religiusitas masyarakat sekarang semakin meningkat.

Coba tengok, masjid yang dulunya sering kosong melompong kini telah diisi oleh jemaah. Di masjid dekat rumah saya, jamaah shalat isya yang dulunya tidak lebih dari satu shaf kini merapat ke belakang hingga mencapai tiga shaf. Bak gayung bersambut, pembangunan masjid pun dimana-mana. Data dari Departemen Agama menunjukkan saat ini kurang lebih ada sekitar 700.000 buah masjid tersebar di seluruh pelosok negeri. Meningkat dari tahun 2004 yang jumlahnya hanya 643.834 buah masjid. Pengurus masjid berlomba-lomba mempercantik bangunan masjid dengan memugar sana-sini, berusaha keras agar jemaah nyaman berada di dalam masjid. Entah tujuannya untuk apa. Apakah agar pemasukan celengan masjid bertambah atau apalah. Terlepas dari tendensi dan motivasi di baliknya, yang jelas kita bersyukur atas semua itu. Karena masyarakat kita kini lebih religius. Jika begitu, mengapa toleransi, kerukunan dan kebersamaan sulit kita raih? Mengapa kita masih saja saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain? Hingga berujung pada pertikaian, tawuran yang tak jarang merenggut nyawa. Seakan menganggap perdamaian, prestise itu hanya diperoleh dari perang. Mengapa kita malah semakin “buas” setelah ritual keberIslaman kita meningkat? Justru banyak diantara kita yang mengaku beriman namun malah menjadi “panglima” setiap kali ada kekerasan dengan alasan agama.

Sebuah Refleksi
Mungkin salah satunya disebabkan karena kekeliruan kita dalam menjalankan aktivitas keberagamaan kita. Kita menganggap bahwa ibadah hanya sekedar dimensi ritual an sich. Tak ada dimensi social di dalamnya. Salah satunya, dalam melaksanakan shalat berjamaah. Kita enggan menyempurnakan dan merapatkan shaf. Padahal ketika berjamaah itulah moment dimana seluruh umat muslim bisa bersatu. Tak ada perbedaan, satu kata dan perbuatan. Kita tentunya sangat menantikan hal itu. Dimana toleran, kerukunan dan kebersamaan terangkum dalam kehidupan social kita. Yang jelas, perdamaian dan kerukunan yang kita dambakan bersama bukanlah suatu yang absurd. Ummat Islam bersatu bisa saja dicapai jika kita mulai dari hal yang kecil seperti ini. Namun jika kita masih enggan, sangat naif jika kita berharap demikian. Semua ummat bersatu membagun negara ini atau bahkan melawan musuh Islam. Wajar jika perpecahan dan perselisihan itu masih ada. Seperti hadits Rasulullah berikut ini; Hai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf kalian (jika tidak) Allah akan (menimbulkan perselisihan) di antara wajah-wajah kalian.” (HR Muslim dan Ahmad)

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar