Meskipun mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, Kementerian Pendidikan Nasional kembali bersikeras akan melaksanakan Ujian Nasional. Di Harian Tribun Timur, Edisi 1 Januari 2011 yang lalu diberitakan Pemerintah tetap akan melaksanakan Ujian Nasional pada bulan Mei mendatang dengan format yang berbeda. Tak ada lagi Ujian Ulangan bagi siswa yang tidak lulus. Bagi yang tidak lulus, akan diberikan pilihan yakni mengikuti ujian paket C atau menunggu hingga ujian nasional tahun mendatang.
Berita ini tentunya merupakan kado awal tahun yang pahit dari pemerintah buat pelaku dunia pendidikan di Indonesia terutama pelajar yang kembali akan dihantui oleh UN. Hajatan akbar ini pastinya akan kembali menjadi momok paling menakutkan yang akan menghadirkan frustasi sosial mahaakbar, apatahlagi pemerintah tidak akan memberi ampun (baca : ujian ulangan) bagi mereka yang tak bisa memenuhi standar nilai yang ditentukan. Negara kembali hadir sebagai lembaga yang abai terhadap suara rakyat, guru dan pelajar yang menyatakan bahwa ujian nasional tidak sesuai dengan UU Sisdiknas, UU Guru dan prinsip paedagogis. Negara tak lagi menjadi nation yang melindungi hak-hak sipil warga negaranya dan kemudian berubah menjadi alat yang memonopoli kekerasan atas rakyatnya.
Hentikan Ujian Nasional!
Jika kita menganalisa lebih jauh, tak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk kembali menggelar Ujian Nasional. Secara hukum, UN telah dinyatakan inskonstitusional dan ilegal oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21 Mei 2007 yang memutuskan bahwa Presiden, Wapres, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua BSNP, lalai memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional. Hal ini kemudian dipertegas lagi oleh putusan Mahkamah Agung yang melarang pelaksanaan ujian nasional. Sehingga pemerintah seharusnya mematuhi putusan hukum yang telah ditetapkan.
Kemudian dari perspektif tujuan dilaksanakannya ujian nasional yang katanya demi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan di negeri ini. Pemerintah hampir dikatakan tak pernah melakukan evaluasi terhadap hasil ujian nasional apalagi melakukan pemetaan dan perbaikan mutu. Masih jelas di benak penulis, ketika tahun lalu Menteri Pendidikan Nasional, Muh. Nuh berjanji di Makassar bahwa akan melakukan evaluasi, pemetaan dan perbaikan terhadap hasil ujian nasional yang baru saja dilaksanakan saat itu. Namun hingga saat dimana UN kembali akan digelar, belum ada upaya kongkrit dari pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang lemah dalam pelajaran yang diujikan. Belum lagi upaya perbaikan dan pemerataan pendidikan yang belum juga dilakukan. Jika memang bertujuan memetakan mutu pendidikan, pemerintah mestinya memperbaiki dan meningkatkan akses, proses, biaya dan sarana pendidikan demi memperbaiki mutu.
Belum lagi komitmen pengembangan mutu pendidikan lewat anggaran belanja sebesar 20 persen pun belum terwujud dalam aksi nyata. Tercatat 55 persen gedung sekolah rusak, 25 persen diantaranya rusak berat. Jadi hanya 45 persen saja gedung sekolah yang dikategorikan baik. Apakah pemerintah akan terus menerus menutup mata dengan realitas ini? Dan kemudian bersikap apatis, tak mau peduli. Pemerintah sudah seharusnya sadar bahwa masih banyak di negeri ini, gedung sekolah yang berantakan dan dalam kondisi memprihatinkan. Atap sekolah yang rontok, dinding-dinding yang bolong, meja kursi reot dan berbagai sarana yang jauh dari standar minimal pelayanan pendidikan masih menjadi sebuah ironi di negara yang lebih dari setengah abad merdeka ini. Situasi tersebut hampir merata di seluruh pelosok negara. Banyak anak di negeri ini yang mengikuti kegiatan belajar mengajar dalam situasi yang mengenaskan. Sebagaimana yang dialami siswa anak petani miskin di Desa Pulau Nyiur, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang belajar dalam satu lokasi yang dibagi menjadi tiga ruang dimana salah satunya untuk siswa tiga kelas. Tidak lulus ujian nasional atau di bawah standar tentunya bukan pilihan anak-anak itu sendiri. Mereka tidak bisa memilih situasi yang lebih baik untuk fasilitas dan layanan pendidikan.
Apakah adil menuntut hasil yang standar jika ruang kelas, guru dan fasilitas pembelajaran sebagai bagian dari proses pendidikan belum standar?. Penulis sepakat dengan para aktivis pendidikan yang menilai bahwa ujian nasional seperti pola berpikir tengkulak. Pemerintah hanya ingin memetik hasil dengan jalan pintas tanpa peduli proses untuk mendapatkan hasil. Padahal, masih sangat banyak anak yang kurang atau bahkan tidak memiliki akses dalam menyiapkan diri menghadapi ujian nasional.
Richard Pring (1995) menyebutkan bahwa terlalu banyak anak kita telah diperlakukan sebagai pihak yang tidak penting karena mereka tidak dapat berhasil di dunia akademis. Anak-anak kita-yang tidak lulus UN dianggap tidak mampu memasuki percakapan intelektual yang didefinisikan orang-orang yang memiliki posisi dalam kendali akademis. Para guru pun merasa pahit ketika melihat standar didefinisikan seluruhnya dari segi kerangka keunggulan akademis (kognitif) padahal para guru mengetahui bahwa ada banyak aspek yang dibutuhkan untuk membentuk pribadi seorang anak.
Jikalau sudah seperti ini, UN tak lagi menjadi sebuah alat untuk melakukan pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan. UN secara tidak langsung hanya menjadi alat pembodohan dan penindasan sistemik. Anak didik di drill untuk menyelesaikan soal pilihan ganda yang berakibat pada pembentukan karakter siswa yang senang berspekulasi. Maka, jangan heran jika ada siswa yang pintar dan baik namun tidak lulus sementara siswa yang malas dan sering tidak masuk sekolah lulus.
Pola evaluasi seperti ini tentunya hanya akan melahirkan anak didik yang cerdas secara kognitif namun lemah secara afektif, psikomotorik maupun spiritual. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa banyak lulusan lembaga pendidikan kita hanya menjadi pengangguran karena tak memiliki skill dan soft skill (afektif) yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Penulis bahkan khawatir jika nantinya dunia pendidikan kita hanya akan melahirkan “Gayus Tambunan” baru. Lulusan-lulusan yang tidak memiliki integritas dan karakter yang kuat sehingga sangat mudah diperbudak oleh permainan politik dan kekuasaan.
Lain lagi dengan standarisasi nilai kognitif yang harus dipenuhi. Tak jarang di beberapa sekolah tiap tahunnya membentuk “tim sukses UN” agar anak didik sukses memenuhi standarisasi yang ditentukan. Seluruh komponen sekolah menguras tenaga semaksimal mungkin agar anak didik dapat lulus 100%. Karena selain demi keberhasilan pengajaran, hal ini juga demi sebuah prestise sekolah. Mulai dari les tambahan, kursus privat hingga tak jarang ada juga yang melakukan kecurangan. Seperti yang diberitakan di berbagai media tentang dilaksanakannya ujian nasional ulangan menyusul adanya penemuan tindak kecurangan (kebocoran soal) di beberapa daerah tahun lalu. Selain itu, dengan format UN yang baru dilansir oleh Kemendiknas dinilai hanya akan memberikan ruang yang lebih bagi sekolah untuk melakukan mark-up nilai, memberi “bekal” nilai gila-gilaan demi kelulusan siswa. Sehingga tak jarang nilai hasil UN tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Penulis pernah menemukan seorang guru yang mengeluhkan siswanya yang susah menerima pelajaran padahal nilai ujian nasionalnya di atas rata-rata.
Kita tentunya berharap agar Ujian Nasional tak lagi menjadi alat pembodohan dan penindasan sistemik yang hanya mengakibatkan jatuhnya “korban” dimana-mana. Cukup sudah kita melihat betapa banyak pelajar di negeri ini yang stress, frustasi atau bahkan bunuh diri hanya karena mereka tak bisa memenuhi keinginan pemerintah.
Hentikan Ujian Nasional. Lakukan evaluasi terhadap hasil UN tahun-tahun sebelumnya. Paparkan terapi (treatment) apa yang dipersiapkan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan. Jangan hanya selalu mematok angka-angka batas kelulusan sementara tidak melakukan perbaikan secara komprehensif. Jangan lagi menghamburkan-hamburkan ratusan miliar uang negara untuk hajatan nasional yang hanya dijadikan lahan proyek bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. Lebih baik gunakan dulu untuk memperbaiki fasilitas dan layanan pendidikan seluruh anak didik di negeri ini baru kemudian diuji secara nasional. Sudah saatnya kita mengakhiri kegemaran mengutak-atik kebijakan dan segera merancang blueprint pendidikan nasional agar visi pendidikan Republik Indonesia dapat lebih terarah.
Akhirnya, jika Kemendiknas masih tetap ngotot melaksanakan Ujian Nasional, kita tantang Pak Menteri, Bapak Muhammad Nuh, BSNP beserta jajarannya untuk ikut menyelesaikan soal ujian bersama pelajar di bulan Mei mendatang. Kita buktikan apakah beliau-beliau yang terhormat itu juga sanggup memenuhi
Senin, 14 Februari 2011
Ujian Nasional Bareng Pak Menteri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar