Kamis, 05 Februari 2009

Menyikapi Geliat Pemekaran Wilayah

Baru-baru ini kita dikagetkan oleh pemberitaan di stasiun TV tentang kematian salah satu anggota legislatif DPRD Tingkat I Provinsi Sumatera Utara. Abdul Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumut sekaligus aktivis Partai Golkar meninggal dunia setelah Selasa pagi, sekitar seribu orang menamakan dirinya Aliansi Pendukung Propinsi Tapanuli menyerbu gedung dewan untuk mendesak DPRD Sumut untuk segera menyetujui pemekaran wilayah Propinsi Tapanuli dan melakukan pengrusakan dan bahkan kekerasan terhadap Caleg DPR RI tersebut.

Masalahnya sepele, masyarakat menginginkan agar DPRD Sumut segera menyetujui draft proposal pengajuan pemekaran yang sebelumnya telah disetujui oleh Gubernur Sumut hingga menjadi perbincangan di DPR RI. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian mengapa masyarakat sangat menginginkan adanya pemekaran wilayah ini? dan malah mengakibatkan Ketua DPRD Sumut sebagai "tumbalnya"? Apakah ada maksud terselubung dibelakang semua ini?

Spirit Otoda
Pemekaran wilayah sebenarnya telah ada sejak dulu, yakni pada tahun 1950 dimana saat itu Propinsi Sumatera dimekarkan Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan dan dilanjutkan pada tahun 1956, Provinsi Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Begitu seterusnya hingga akhirnya pemekaran wilayah terakhir terjadi pada tahun 2004 yang lalu dimana Sulawesi Selatan dipecah menjadi Sulawesi Barat.


Spirit awal pemekaran wilayah ini sebenarnya adalah untuk mencoba meningkatkan taraf hidup rakyat, melakukan pengelolaan sumber daya secara efisien dan mengupayakan pelayanan yang optimal terhadap kebutuhan rakyat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, spirit ini nampaknya memudar dan tergantikan oleh -klo saya menyebutnya sikap latah- semangat otonomi daerah. Pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Sejak adanya UU ini tercatat hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Dengan demikian terdapat 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Bahkan menurut perkiraan, pada tahun 2020 Indonesia nantinya akan memiliki 40 propinsi.

Tentunya hal ini sangat mengagetkan kita. Betapa tidak, dengan maraknya pemekaran wilayah ini bisa jadi akan terjadi disintegrasi di Indonesia. Mengapa, karena hal ini tentunya akan memicu konflik horizontal antara wilayah yang lama dengan wilayah yang baru. Tragedi di Sumut cukuplah menjadi contoh. Desakan masyarakat untuk membentuk Propinsi Tapanuli akhirnya berujung pada meninggalnya salah satu legislator Sumut. Belum lagi, Kapolda Sumut yang meningkatkan status keamanan di Sumut menjadi siaga satu setelah kejadian tersebut. Banyak hal yang bisa saja terjadi dan nampaknya akan sangat berdampak pada stabilitas suatu wilayah.

Dibutuhkan Pengkajian Mendalam
Jika alasannya untuk mensejahterakan rakyat dengan perbaikan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, saya rasa hal itu merupakan hiasan bibir belaka. Telah banyak realita yang kita dapatkan ketika suatu daerah melakukan pemekaran wilayah tidak banyak membantu mensejahterkan rakyat. Yang ada hanya rakyat semakin miskin dan melarat serta terbelakang diakibatkan oleh manajemen pemerintahan yang tidak jelas atau bisa juga kita sebut grand design. Muncullah predator-predator baru yang akan senantiasa menghisap nadi masyarakat. Gedung-gedung pemerintahan baru ada di sana-sini yang akhirnya mengahambur-hamburkan anggaran.

Tidak adanya perencanaan dasar atas wilayah yang dimekarkan bisa jadi akan mengorbankan rakyat yang pada awalnya bertujuan untuk memakmurkan rakyat. Setidaknya dalam melakukan pemekaran wilayah terlebih dahulu dipersiapkan grand design dengan mencoba menganalisis bagaimana penataan wilayah dan sistem administrasi ketika dilakukan pemekaran wilayah. Selain itu, peta politik masyarakat dan administrasi pemerintah harus menjadi dasarnya. Jadi, dalam melakukan pemekaran wilayah tidak hanya merujuk pada cukup tidaknya jumlah daerah yang akan masuk ke wilayah tersebut. Sehingga, jika hal ini tidak dipenuhi maka saya rasa tidak ada alasan untuk setuju dengan pemekaran wilayah tersebut.

Melihat geliat pemekaran wilayah yang saat ini terasa di beberapa wilayah nampaknya hanya didasari oleh tendensi politik atau kepentingan sesaat saja. Mengapa demikian, karena penulis menganggap bahwa justifikasi untuk membentuk wilayah baru tidak rasional. Hanya didasari oleh jumlah daerah yang menghuni wilayah tersebut dan bahkan hanya merujuk pada sejarah yang telah diukir oleh daerah yang melakukan pemekaran sebelumnya, di Bangka Belitung misalnya. Tentu sangat naif jika kita mengorbankan tanah air kita, mengubur impian rakyat kita akan kesejahteraan hanya karena tendensi politik dan kepentingan sesaat belaka. Jadi, perlu ada pengkajian yang lebih komprehenif dan fundamentalnya nampaknya sebelum memutuskan untuk "bercerai" dengan "rumah asal". Akhirnya, kita berharap fenomena ini tidak dijadikan sebagai ajang untuk meraup keuntungan bagi pribadi, golongan atau pihak manapun. Apalagi hal ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik belaka. Mudah-mudahan tidak..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar