Sabtu, 15 November 2008

Islam dan Budaya Lokal

Sejauh ini Islam di Indonesia dinilai lebih toleran terhadap budaya. Toleransi tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Sikap itu mencerminkan adanya kemampuan dan kemauan Muslim Indonesia untuk menyerap budaya lokal menjadi bagian dari ajaran Islam. Budaya dipandang sebagai bagian yang inheren dengan kehidupan masyarakat, sehingga tidak memungkinkan bagi sebuah gerakan yang membawa nafas rahmatan lil’alamin memberangus sesuatu yang sudah menjadi bagian dari masyarakat.

Kritik dan Afirmasi
Konsekuensinya, keislaman di Indonesia berbeda dengan mainstream yang berkembang di “pusat” pertumbuhan Islam. Mistisisme yang sebagian besar merupakan musuh gerakan Islam di Haramain (Mekah dan Madinah), di Indonesia justru menyatu dengan tradisi Islam.

Kondisi semacam ini memang menimbulkan banyak kesalahpahaman. Bagi sebagian pengamat, Indonesia dikategorikan sebagai “Islam yang jelek”. Kategori ini mendorong Nikki Keddie untuk meneliti sejauhmana perbedaan Islam yang berkembang di Timur Tengah dengan di Asia Tenggara (Indonesia). Penelitian Keddie menemukan bahwa pada dasarnya Islam yang berkembang di Timur Tengah tidak semuanya anti terhadap budaya lokal (budaya mistik). Di Kairo dan beberapa tempat lain didapatkan gejala yang serupa dengan di Asia Tenggara (2000). Berarti Islam yang bercampur dengan budaya lokal tidak khas Indonesia, dan tidak menunjukkan sebagai Islam yang jelek. Dalam konteks tradisi Islam dalam kekhilafahan Fatimiah di Mesir (abad ke-3/4 M), mistisisme—sebagaimana di Indonesia—juga berkembang luas. Padahal saat itu umat Islam sedang berada pada masa keemasan peradaban.


Dengan demikian, Islam yang bercampur dengan budaya lokal adalah gejala normal dari dinamika umat Islam. Pergumulan dan interaksi umat Islam dengan beraneka macam budaya akan mengondisikan munculnya karakter yang lebih akomodatif. Sebaliknya, semakin minim interaksi umat Islam dengan kebudayaan lokal, akan semakin miskin apresiasinya terhadap budaya lokal. Oleh penentangnya, budaya lokal dianggap sebagai sesuatu diluar Islam, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai transenden. Budaya adalah karya manusia, sedangkan Islam adalah karya Tuhan. Jadi penolakan terhadap budaya lokal disebabkan oleh pendasaran agama pada sesuatu yang transenden secara keseluruhan.

Padahal jika diteliti lebih jauh, kandungan Al-Quran sendiri menggambarkan adanya akomodasi terhadap budaya lokal (Arab). Respon Al-Quran bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik atau mengonfirmasi budaya lokal tersebut. Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Sedangkan konfirmasi diberikan kepada budaya yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan. Dalam hal ini Imam Syatibi merumuskannya secara sistematis dalam maqoshid al-syari’ah (tujuan syari’at), diantaranta: pertama, menjaga dan memelihara kepentingan dan kemaslahatan manusia, dan kedua, syari’at agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati manusia. Jadi, relasi agama dan budaya terjadi dalam bentuk kritik dan afirmasi. Tidak semua budaya ditolak lantaran berasal dari kreasi manusia.

Prinsip Kausalitas
Islam dibangun dengan prinsip-prinsip kausalitas: senantiasa terdapat pola sebab akibat yang dapat diteliti oleh manusia, sehingga otoritas agama tidak diserahkan kepada al-Quran secara pasif. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ali r.a. bahwa teks al-Quran tidak bisa “berbicara”, manusialah yang membuatnya “berbicara”. Jadi, prinsip-prinsip kausalitas itulah yang menjadi pedoman dalam menghayati semangat ajaran agama. Otoritas itu tidak diletakkan secara ekstrim pada manusia semata, melainkan pada kemampuan memahami tujuan syariat. Produk pengetahuan manusia itu pun memang bersifat relatif, sebagaimana relatifnya kemampuan manusia sendiri dalam memahami pola sebab akibat tersebut.

Memang tidak dapat dipungkiri adanya kontestasi di masa penyebaran Islam di Indonesia (abad ke-14 M) antara pedagang dan pendakwah Muslim di satu sisi, dengan elit-elit lokal di lain sisi. Sikap akomodatif Islam terhadap budaya menggambarkan adanya pengaruh elit-elit lokal yang cukup kuat. Budaya lokal umumnya terkait dengan legitimasi terhadap kekuasaan penguasa lokal. Karena itu semakin kuat pengaruh penguasa lokal, akan semakin besar kemungkinan sikap akomodatif Islam terhadap budaya lokal. Kecenderungan ini masih dinilai normal, dalam arti sejalan dengan ajaran Islam, sepanjang budaya lokal tersebut tidak menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Kiprah Wali Songo dalam islamisasi masyarakat di Nusantara mencerminkan sikap akomodatif yang berlandas pada maqoshid al-syari’ah. Budaya lokal diadopsi sebagai instrumen untuk “membungkus” isi Islam, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran Islam sepanjang itu sesuai dengan semangat memuliakan manusia.

Kentalnya warna Islam lokal di Indonesia menggambarkan pula kualitas Islam itu sendiri. Islam tidak diturunkan untuk “memaksa” manusia menyembah Tuhan, melainkan untuk kebaikan manusia itu sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar