Menilik fase sejarah bangsa, gerakan mahasiswa merupakan gerbong setiap perubahan di negeri ini. Diakui atau tidak, setiap kali terjadi perubahan, gerakan mahasiswa selalu mengambil posisi penting garda depan dan setiap kali itu pula gerakan mahasiswa selalu ketinggalan gerbong dalam menikmati upeti perjuangannya. Tengoklah perjalanan idelogis Soe yang telah rela mewakafkan dirinya untuk melakukan revolusi besar-besaran di internal pemerintahan Indonesia saat itu. Namun, akhirnya Gie meninggal di tengah keterasingannya. Ini ironi sekaligus nestapa.
Gerakan Mahasiswa telah membuktikan eksistensinya sebagai kekuatan oposisi sejati dan gemilang dalam melakukan represi terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan zalim. Geliat politik yang dilakukan dapat dimaknai sebagai manifestasi murni tanpa target kekuasaan atau material.
Telah terukir dalam sejarah bahwa gerakan mahasiswa memberikan sumbangsi berharga bagi pergerakan bangsa ini menuju kemerdekaan. Ingatan kita pun tertuju pada ide brilian yang dilahirkan Dr. Sutomo dan kawan-kawan dengan mendirikan Boedi Oetomo pada 1908. Organisasi pun ini menjadi tonggak kemunculan pergerakan nasional. Peran signifikan juga diambil mahasiswa dalam pelaksanaan Sumpah Pemuda 1928. Dan yang takkan terlupakan mungkin oleh penulis ketika rezim orde baru kemudian di”mati”kan oleh para kaum muda intelektual di seantero penjuru Indonesia dengan pengorganisiran kekuatan yang solid dan terbukti mampu ”menumbangkan” Soeharto dari tahta kepresidenannya saat itu.
Secara komprehensif, sebenarnya ada beberapa faktor yang mendorong pelecutan gerakan mahasiswa dan pemuda. Pertama, kondisi rakyat yang semakin meprihatinkan di bawah kepemimpinan yang dianggap telah gagal mengawal amanat rakyat sehingga mahasiswa mencoba melakukan peranannya sebagai social control. Kedua, kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah yang dinilai terlalu banyak merugikan elemen masyarakat -semau perutnya sendiri- terutama kaum termarginalkan. Karena kebijakan ini, pengangguran semakin membengkak, jurang antara kaya dan miskin semakin menganga lebar, monopoli ekonomi semakin dirasakan di beberapa sektor, tidak adanya ruang diskursus antara yang diatas dan yang dibawah, ketidakadilan ekonomi yang semakin nyata ini yang menjadi mandat bagi mahasiswa untuk turun melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Ketiga, gerakan mahasiswa merupakan gejala global sehingga dianggap perlu ada komponen yang dapat mengeliminir efek dari globalisasi yang memiliki ruh kapitalisme, neoliberalisme dan pragmatisme. Hal ini kemudian membuat mahasiswa mendeklarasikan dirinya sebagai the agent of chage.
Pendek kata, keprihatinan terhadap realitas sosial yang membuat tumbuh suburnya gelora semangat mahasiswa dan berupaya untuk tetap kritis melihat ketimpangan yang ada.
Namun, ketika masa demokrasi liberal berjalan terasa aksi mahasiswa lambat laun mulai meredup. Fischer mengemukakan, kesadaran akan perannya sebagai the future elite memberikan perasaan aman pada mahasiswa. Di samping sebagian dari mereka pejuang bersenjata yang menganggap tugas belajar sebagai noblesse oblige untuk mengejar ketertinggalan. Situasi demikian berlanjut hingga pada sandyakalaning demokrasi liberal. Para mahasiswa kemudian terjebak pada rutinitas memperkaya diri dengan ilmu-ilmu praktis yang semakin memisahkan mahasiswa dari realitas sosialnya. Begitu seterusnya hingga menjelang saat-saat dimana masa bulan madu Gus Dur-Mega berakhir. Di kalangan mahasiswa terjadi fragmentasi kepentingan politik yang begitu luar biasa baik yang terakomodasi di dalam lembaga-lembaga formal kemahasiswaan (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun yang menjelmakan diri ke dalam organ-organ taktis.
Hal ini pun berdampak pada polarisasi gerakan mahasiswa. Polarisasi yang demikian jelas semakin menjauhkan penemuan kembali gerakan mahasiswa yang berada pada satu platform sebagai gerakan moral yang berdiri di atas kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Gerakan mahasiswa kembali menemukan bentuk ketika kekuasaan terpusat pada Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin. Tambahan lagi dengan meletusnya Gestapu 1965 yang disebut Geertz sebagai bukti kedalaman dissensus, ambivalensi, disorientasi masyarakat Indonesia.
Dengan sokongan militer, mahasiswa lewat KAMI dan KAPPI dapat memaksa Soekarno jatuh dan membuang jauh-jauh PKI. Akhirnya muncullah sebuah ilusi berupa koalisi mahasiswa dengan militer. Namun dalam waktu cepat, ilusi berubah menjadi disilusi, hanya dua tahun setelah demonstrasi digelar pada 1966. (M Aziz Hakim, 2001) Setelah angkatan ini, lahir kembali gerakan mahasiswa awal 1970-an. Yakni mereka (mahasiswa) yang lahir setelah kemerdekaan.
Kebangkitan
Sudah saatnya gerakan mahasiswa kembali menemukan bentuk. Seyogyanya ketimpangan yang terjadi mampu mengilhami kebersatuan kembali gerakan mahasiswa. Perasaan senasib dan seperjuangan mesti berwujud pada terciptanya koridor kaum muda yang kritis dan peka terhadap realitas sosial. Pembelaan, penyadaran dan pemberdayaan mesti segera digalakkan untuk menghentikan gejolak kaum tua yang semakin menjadi-jadi. Integrasi pemikiran dan ide-ide seharusnya mewarnai aktivitas-aktivitas kampus.
Perlu adanya langkah strategis untuk memetakan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang tetap setia kepada perjuangan nasional untuk keadilan serta penuntasan agenda kerakyatan, yang perlu dilakukan bersama, pertama, mendorong agenda konsolidasi nasional di tingkat elite politik dan masyarakat untuk mencegah disintegrasi sosial dan bangsa. Kedua, mendorong konsolidasi demokrasi. Ketiga, mendorong konsolidasi kerakyatan.
Dalam proses konsolidasi demokrasi ini kemudian mahasiswa hendaknya dapat menempatkan diri sebagai pilar terhadap seluruh alat kekuasaan negara baik lembaga tinggi maupun lembaga tertinggi negara.
Maka yang seharusnya dilakukan tetap konsisten sebagai penyeru moral dan penjaga utama demokrasi serta mengeliminasi polarisasi gerakan.
Kamis, 13 November 2008
Gerakan Moral Mahasiswa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar