Sabtu, 15 November 2008

Genealogi Gerakan Intelektual Muslim di Indonesia

Dosen muda Universitas Paramadina,Yudi Latif, lagi-lagi meluncurkan sebuah buku yang cukup menarik, “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Abad ke-20”. Buku setebal 700-an halaman ini konon merupakan buah karya doktoralnya yang ia sabet dari Australian National University, Australia. Buku inilah yang menjadi bahan diskusi hampir di setiap jaringan intelektual muslim di Indonesia belakangan ini.


Menurut Edwin, seorang aktivis Reform Institute, karya Yudi ini merupakan sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam bidang sosiologi politik dan sejarah. Ia telah berhasil memetakan corak pemikiran ke-Islaman di Indonesia dalam rentang waktu kurang lebih satu abad (abad XX). Ia juga menilai buku Yudi mempunyai kekuatan teoritis yang sangat bagus. Melalui metode genealogis ala Foucault, Yudi berusaha memerhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar-generasi dari intelegensia muslim Indonesia. Tujuan metode genealogis bagi Edwin adalah mencatat kekahasan (singularity) peristiwa-peristiwa di luar maklumat yang itu-itu saja (monotonous finality). “Karena sejarah, mengutip Foucault, tidak hanya melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau, tetapi yang lebih penting adalah mendiagnosa situasi sekarang serta menawarkan kritik dan preskripsi penyakit masa kini dengan melongok masa lampau”, tegasnya lebih lanjut.

Di samping membaca sejarah, metode ini juga digunakan oleh penulis buku untuk melihat relasi kuasa yang terjadi pada domain pendidikan, ruang publik, praktek wacana, dan permainan kuasa. Penulis merasa perlu untuk melongok wilayah pendidikan. Karena wilayah ini baginya merupakan ruang kontestasi kekuasaan dan sumber legitimasi intelegensia. Sementara praktek wacana mentransmisikan dan memproduksi kuasa yang akan diekspresikan dalam arena publik.

Selain keunggulan metode yang diungkapkan oleh pembicara awal, pemetaan intelegensia muslim di Indonesia serta pembedaan terminologi intelektual dan intelegensia juga menjadi perhatian kedua pembicara malam itu. “Bagi Yudi intelegensia itu merujuk pada sebuah strata sosial dan mengindikasikan suatu ‘respon kolektif’ dari sistem nilai, habitus dan ingatan kolektif tertentu”, jelas aktivis JIL, Burhanudin. “Sementara intelektual pada awalnya adalah merujuk pada ‘individualitas’ dari para pemikir dan mengindikasikan respon indiviual dari para pemikir terhadap sebuah ‘panggilan’ historis atau fungsi sosial tertentu.”

Bagi calon mahasiswa ANU ini, definisi Yudi atas dua term di atas tampak berlawanan dengan definisi Dawam Raharjo atas keduanya. Menurut cendekiawan yang membidani lahirnya Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) ini, sebagaimana ditulis dalam bukunya “Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim”, intelektual adalah golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan (drop outs), yang peranannya tidak mesti berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang ditekuninya. “Mereka biasanya berperan sebagai kritikus sosial, bersikap emansipatoris, dan kerapkali bersifat politis”, lanjut Burhan mengutip tulisan Dawam. Sementara inteligensia adalah kaum terpelajar yang menggunakan disiplin ilmunya secara profesional, dan karena itu peranan yang mereka jalankan selalu berkaitan erat dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari.

Terlepas dari perbedaan term yang diusung, Yudi dengan cukup cerdas juga memetakan arah gerakan intelegensia muslim di Indonesia. Modernisasi pemikiran Islam yang dihembuskan oleh Abduh di Mesir, banyak memengaruhi arah gerakan Islam saat itu. Masuknya modernisme Islam ke Indonesia, disinyalir berasal dari para mahasiswa Indonesia yang belajar ke Timur Tengah pada masa itu.

Di samping modernisme, ada pula wacana lain yang saat itu menjadi tren gerakan anak-anak muda. Yudi secara lebih singkat membagi orientasi pemikiran ini ada pada tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang berorientasi Barat yang saat itu biasa disebut sebagai kaum terpelajar atau kemadjoean. Kedua, adalah mereka yang masih berpegang teguh pada khazanah agung. “Mereka ini diwakili oleh kaum tradisionalis-konservatif”, jelas Burhan. Ketiga, mereka yang berhaluan pembaharuan atau modernisme Islam.

Berangkat dari tiga orientasi besar ini, Yudi kemudian membagi-bagi cendekiawan muslim itu berdasar masanya. Paling tidak ada enam generasi intelegensia muslim yang berkembang hingga sekarang. Masa pertama diawali oleh generasi Agus Salim, Cokroaminoto dan kawan-kawan. Disusul oleh generasi kedua dengan tokohnya Wahid Hasyim, Kafrawi, dari kelompok tradisional. Sementara generasi ketiga diwakili oleh generasi Mukti Ali, Deliar Noer, Zakiah Darajat dll. Generasi ketiga ini disinyalir oleh Yudi telah mempelopori lahirnya organisasi semacam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia), dan GPII (Gabungan Pelajar Islam Indonesia).

Selanjutnya disusul generasi ke empat dengan tokohnya Imadudin Abdul Rahim, Ismail Hasan Metareum, dan Cak Nur. Generasi kelima diwakili oleh angkatan Azyumardi Azra, Fahri Ali, Masdar F. Masudi dan Marwah Daud Ibrahim. Sementara dari sayap aktivis dakwah ada Hidayat Nurwahid, Nurmahmudi Ismail, Ismail Mutammimul Ula. Generasi empat dan lima ini telah berhasil melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Dari seluruh generasi yang telah dipaparkan, yang menarik perhatian peserta diskusi malam itu adalah generasi terakhir. Mereka adalah para aktivis yang selama ini aktif menyuarakan liberalisme Islam, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani, Burhanudin, dan Nong Darol Mahmada. Mereka bukan saja mewakili generasi ke enam, tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi Intelegensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini.

Pemetaan intelegensia muslim ini mampu menjelaskan gelombang sejarah pemikiran dan intelektual di Indonesia yang tidak monofonik dan tidak satu arah. Namun menurut Burhan, Yudi masih lebih banyak melihat aspek eksternal yang berpengaruh pada pembentukan embrio intelegensia muslim Indonesia. “Sementara dinamika internal customary Islam yang terjadi di tanah air pada saat itu cenderung dilupakan oleh Yudi”, ucap Burhan.Hal itu tampak ketika Yudi lebih banyak melihat aspek gerakan reformisme di Timur Tengah dan politik etis Hindia Belanda yang dinilai telah mendorong tumbuhnya gerakan modernisme dan reformisme Islam di Indonesia. “Padahal gerakan reformis-revivalis Islam di Indonesia, seperti Muhamadiyah atau Persis, bukan semata-mata hasil injeksi oleh pengaruh jaringan internasional semata, tetapi juga karena kejengahan sebagian ulama atas praktek lokal yang dianggap masuk dalam TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat).”

Kelengahan Yudi melihat dinamika internal ini juga telah menjebaknya dalam melihat fenomena anak muda NU di akhir abad 20. Ia dengan serta merta memasukkan mereka dalam barisan liberalisme Islam. “Kalau ada Rumadi atau Baso di sini, pasti mereka akan keberatan untuk dimasukkan dalam Islib”, seloroh Burhan.

Meski alumni UIN Jakarta ini banyak mengkritik buku Yudi, tetapi ia tetap apresiatif atas karya monumental Yudi. “Sulit untuk menampik kenyataan bahwa buku ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Bahkan ketika membaca buku ini saya merasa kesulitan untuk mencari celah. Karena hampir semuanya telah dibahas tuntas”, paparnya.

Diskusi yang berlangsung di padepokan Teater Utan Kayu ini juga dihadiri oleh penulis buku, Yudi Latif. Pada sesi akhir, oleh moderator, ia diberi kesempatan untuk memberikan komentar. Dalam komentarnya, ia berterima kasih pada Burhan yang telah membaca karyanya dengan sangat kritis, termasuk juga membuat resensinya di Media Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar